Ibu, Apakah Dewasaku Palsu?
Bu, aku mulai bertanya. Apakah dewasaku palsu? Karena aku masih
cengeng tertampar rindu. Apakah Tuhan memberikan jalan yang sama
denganmu agar aku tau sulitnya kau dulu? Bahkan detak jam dindingku
membuatku ragu apakah waktu benar-benar berlalu. Tak pantas rasanya aku
mengeluh. Aku jadi malu pada angka dua puluh tiga yang tertera di
identitasku. Sebagai anakmu aku tau, bahwa semua telah memiliki jalan
sendiri bahkan kadang sangat berbeda dari perkiraanku semenit yang lalu.
Namun apa daya Bu, aku memang sedang rindu.
Tanah rantau yang disebut-sebut sebagai tanah tempat orang dewasa
lahir itu benar adanya, bahkan aku melihat diriku tak seperti sembilan
tahun yang lalu saat berpisah denganmu. Bu, anakmu sedang menata rindu,
menyusun masa depan, hingga siap untuk pulang kembali. Berat rasanya
jika tak kusyukuri, Bu. Seperti pesanmu, tiap waktu nanti akan ada rindu
yang tak kuasa kau bendung. Akan ada sepi yang kusut dan sulit kau
luruskan. Akan ada kasih yang berwujud namun tak kau lihat. Akan ada
senyum yang akan kau samarkan dalam cita-citamu.
Bu, benar adanya itu. Telah kutemui mereka satu persatu. Lalu
memberiku nilai dengan ragu ketika aku bercerita tentangmu. Anakmu ini
hanya rindu. Ada potongan cerita demi cerita yang kusiapkan untuk kubagi
dalam canda dan tawa bersamamu nanti di masa tua. Akan ada senyum dalam
keriputmu, Bu. Akan ada hangat dalam dingin duniamu, akan ada pula
sosok dia yang akan membantuku merawatmu.
Tidak ada komentar