Untukmu

Untukmu, apa kabar? Gimana dinasmu selama ini, apakah baik-baik saja? Semoga Allah saban hari menjagamu. Dan tak ada yang spesial dari tulisan ini, hanya beberapa untaian kata yang memaksaku untuk menulisnya dan berharap akan kamu baca.

Pada pengujung senja sore hari, aku menulis surat rindu dengan binar malu dalam lamunanku, akan aku ceritakan kepadamu tentang seberapa sulitnya perjalan hati ini untuk temukan sosokmu. Aku berharap kamu membaca bait aksara sederhana ini. Apakah kamu tahu, caramu yang kalem dalam memandang hidup terkadang menggelitik hatiku untuk mulai terpesona denganmu? Kamu mengalir pelan seperti air, namun cukup menyejukan.

Ada rasa rindu menggebu di sudut hati. Rindu ini bukanlah rindu yang datang tiba-tiba. Rindu ini sudah ada di sana sejak lama, hanya saja mungkin tidak pernah ada cukup alasan untuk mengenangnya. Jemariku mengikuti keserakahan hatiku. Mencoba menulis bait demi bait. Seandainya saja, aku memberikan padamu sebuah surat. Sebuah surat di mana aku ingin meluapkan seluruh isi otakku, mungkin bisa meringankan beban rindu dihati. Namun, tak adakah sejenak rasa rindu di hatimu untuk bisa bersama-sama?

Aku berjuang sendirian, di hempaskan oleh angin kencang pun aku tetap berjuang sendirian. Harusnya aku sadar bahwa hanya aku lah yang berjuang. Dan bagaimana denganmu? ketika aku lengah dan lelah sedikit saja, kamu malah mengambil kesempatan itu untuk segera lepas. Mengapa tak kamu katakan dari awal, bahwa kamu tak ingin ku genggam?

Terimakasih pernah mengenalkanku pada bagian-bagian terpenting dalam hidupmu. Terimakasih, telah menyambutku dengan begitu hangat, walau kadang juga sangat dingin. Maaf, karena aku telah membebanimu dengan semua rasaku. Terimakasih, telah menjadi guru dan cambuk yang mengajariku banyak hal. Maaf, karena aku tak mampu lagi memperjuangkanmu. Semoga kamu menemukan seseorang yang akan memperjuangkanmu sampai akhir. Dan aku akan menemukan seseorang yang akan memperjuangkanku sama seperti aku memperjuangkanmu, sampai akhir.