Hidup Adalah Pilihan Dan Keputusan
Nyatanya mendung memang belum tentu hujan, hingga aku menyadari,
bahwa aku baru saja menanti sebuah ketiadaan. Tenang, tidak mengapa,
mungkin memang hatiku yang terlalu berlebihan dalam menyulam sebuah
harapan. Atau mungkin memang hatinya yang terlalu keras untuk menerima
sebuah ketulusan.
Akupun percaya, setiap harinya, bukan cuma hatiku yang patah karena
menunggu seseorang yang tak pernah sadar bahwa dirinya dinanti.
Mendoakan seseorang yang selalu menyebut nama orang lain dalam doanya.
Dan merindukan seseorang yang bahkan tak pernah sedikitpun merindukan
balik. Banyak hati yang juga patah karena perasaan yang sama. Ada yang
cukup bijaksana dengan membiarkan hatinya patah hanya beberapa minggu
saja, lalu pergi dan memilih untuk menemukan kebahagiannnya sendiri.
Namun, tak sedikit orang-orang yang memilih untuk tetap diam, merayakan
kehilangan bahkan menikmati pilunya hati yang selalu menjadi sosok yang
mencintai secara diam-diam namun tetap tak berbalas selama ribuan hari.
Aku memilih untuk sebuah kesembuhan dan memutuskan untuk tidak jatuh
terlalu dalam. Tidak perlu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk
melupakan hari-hari pahit. Waktu terlalu berharga untuk dilewatkan
dengan percuma. “Adakalanya ketika hatiku sedang berjuang untuk sembuh,
Allah akan selalu mengujinya. Bahkan berkali-kali, ia hujamkan cemburu
ke ulu hati. Padahal Dia tahu, aku sedang berusaha merelakan, berusaha
melepaskan bahkan aku berusaha tidak membicarakannya. Namun Allah
mengujiku dengan selalu menghadirkan ia dalam ingatan, dalam hatiku
bahkan merangkainya dalam harapan.
Ini bukan tentangmu yang pada akhirnya meruntuhkan harapanku, tapi
tentangmu yang pernah membuatku percaya bahwa ada hal baik yang akan
kita temukan di perjalanan ini. Ini bukan tentangmu yang memilih pergi ,
tapi tentangmu yang pernah memilihku sebagai seseorang untuk berbagi
seluruh cerita hebatmu. Di sini aku selalu mendoakanmu agar kau tak
pernah sedikitpun merasakan kesedihan seperti yang sempat kurasakan
karena kehilanganmu.
Kau sempat diizinkan oleh takdir untuk sejenak menetap dihatiku, tak
perlu lagi kau menoleh kebelakang. Maafkan aku atas rasa pengecutku yang
tak mampu memperjuangkanmu lebih jauh lagi. Sekarang, kita tengah
berjalan di persimpangan jalan yang berbeda. Kuharap apabila suatu waktu
kita dipertemukan pada sebuah titik jalan yang sama, kita bisa saling
tersenyum menatap satu sama lain tanpa kebencian didalam hati.
Tidak ada komentar